Bismillahirrahmanirrahim
Dalam dasawarsa terakhir, dimana-mana, fenomena hijrah
begitu marak, utamanya di kalangan generasi X, Y, Z, hingga Milenial. Hal
ini ditandai dengan maraknya kajian-kajian islam ilmiah, status-status di
sosial media terkait ilmu syar'i ataupun postingan yang berbau tausiyah, serta
selalu bertambahnya jumlah shaf pada saat shalat berjamaah di masjid.
Fenomena yang positif ini patut kita syukuri bersama, karena walau bagaimana
pun, ini menjadi sebuah progres yang baik bagi umat islam di Indonesia
khususnya dan di seluruh penjuru dunia pada umumnya.
Namun, sayangnya, terkadang kita melihat para
"Muhajirin" yang awalnya terlihat bersemangat saat hijrah bahkan
seringkali menampakkan ghirah terhadap agamanya, malah tidak konsisten dalam
menjalani prinsipnya, seperti kembali mendengarkan musik-musik yang bathil,
atau melakukan aktivitas yang berbau mubazir seperti bermain game online,
bahkan kembali bergelut dengan riba... wal 'iyadzubillah.
Padahal, mereka sebagian sudah menunjukkan identitas
hijrahnya kepada dunia dengan menampakkan perubahan-perubahan baik dari segi
fisik, seperti memanjangkan jenggot, bercelana cingkrang, menggunakan gamis
ataupun kurta dalam aktivitas sehari-hari, maupun dari segi mental, seperti
mulai sering bersedekah, rendah hati, juga menjaga ucapan dari hal-hal yang
diharamkan.
Lalu, bagaimana supaya kita bisa konsisten saat
berhijrah?
Maka, jawabannya adalah tinggalkan lingkungan yang
membuat anda tidak konsisten. Artinya, kita harus berani meninggalkan
kawan-kawan yang senantiasa mengajak pada kebatilan.
Ada sebuah kisah yang diambil dari sebuah hadits shahih
riwayat Bukhari & Muslim tentang "Pembunuh 100 Nyawa", yaitu
tentang seorang pria yang sudah menghabisi 99 nyawa. Suatu saat, dia
ingin sekali bertobat dan menyesali perbuatannya. Lalu ia pun pergi
menemui seorang ahli ibadah di negerinya untuk meminta nasihat. Setelah
berkonsultasi, maka ahli ibadah itu menjelaskan bahwa seorang pembunuh 99
nyawa, dosanya tidak akan diampuni. Tanpa berpikir panjang, ia genapkan
sang ahli ibadah tersebut menjadi korban ke-100.
Singkat cerita, ia pun pergi menemui seorang ahli ilmu di
negerinya dan meminta nasihat darinya atas perbuatannya tersebut. Lalu
ahli ilmu tersebut menjawab bahwa dosanya bisa diampuni dengan syarat ia harus
meninggalkan tempat dimana tinggalnya karena tempat tersebut adalah tempat yang
amat buruk (lingkungannya) menuju sebuah negeri dimana masyarakatnya masih
beribadah kepada Allah dengan baik.
Lalu ia pun pergi menuju negeri tersebut, namun di tengah
jalan ia meninggal dunia. Sempat terjadi perselisihan antara Malaikat
Rahmat & Malaikat Adzab tentang siapa yang berhak mengambil nyawanya.
Akhirnya diputuskan bahwa Malaikat Rahmat-lah yang berhak mencabut nyawanya
karena jarak menuju negeri yang baik tersebut lebih dekat dibandingkan dengan
jarak menuju tempat tinggal asalnya.
Faidah dari kisah ini adalah lingkungan menjadi faktor
utama yang menentukan ke-istiqamah-an atau konsistensi seseorang dalam
berhijrah. Apabila lingkungan tempat dimana ia tinggal dan bergaul saja
begitu buruk, tentu ia akan sulit mempertahankan nilai-nilai kebaikan dalam
dirinya. Bahkan, ia bisa jadi merasa tak berdosa saat melakukan perbuatan
dosa dikarenakan hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa dilakukan setiap orang
dan terlihat setiap saat.
Rasulullah ﷺ bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى
دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang
itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara
kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman (HR Abu Dâwud no.
4833 dan at-Tirmidzi no. 2378) (ash-Shahîhah no. 927)
Demikian yang dapat disampaikan, wallahu ta'ala a'lam bis showab, semoga bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya.
Cileungsi, 19 Shafar 1442 H
Referensi:
https://almanhaj.or.id/3480-teman-bergaul-cerminan-diri-anda.html
https://rumaysho.com/787-aku-ingin-bertaubat-tetapi.html